Sewaktu belum menikah dulu saya sangat berharap memiliki pasangan hidup bukan orang yang tinggal jauh dari Bandung. Alasannya sih sederhana saja, saya tidak ingin ada acara mudik kalau hari raya lebaran tiba..hehe. Betulan deh, melihat kesibukan mudik di televisi beberapa hari menjelang hari raya membuat saya malas mengikuti ritual mudik yang 'menyeramkan'. Alhamdulillah kenyataannya saya memang menikah dengan orang 'dekat' saja. Walau bukan sama-sama orang Bandung tetapi suami saya berasal dari Cimahi. Jarak tempuh Cimahi - Bandung kan tidak memakan waktu yang lama, kurang dari 1 jam perjalanan. Apalagi kalau lewat tol hanya 20 menit saja.
Tetapi ternyata nasib berkata lain, Ibu mertua meninggal dunia ketika pernikahan kami baru berjalan tidak lebih dari tiga bulan. Sepeninggal ibu mertua, ayah mertua menikah lagi dengan orang Tasik. Ketika beliau pensiun dari tugasnya sebagai TNI, ayah mertua mengikuti ibu mertua baru di Tasik. Jadilah ayah mertuaku orang Tasik. Bisa di tebak ternyata akhirnya saya harus mengikut ritual mudik bila lebaran tiba.
Dulu sewaktu belum merasakan sendiri, kalau melihat antrian mudik lebaran di televisi saya suka ngedumel panjang pendek, "Ngapain bela-belain terpanggang di dalam kendaraan terjebak macet yang panjang, silaturahmi kan bisa dilakukan kapan saja, tak melulu saat lebaran tiba". Tapi ternyata lain ceritanya ketika mengalami sendiri, tidak afdol rasanya bila lebaran tiba tidak sungkem pada orang tua. Mumpung mereka masih ada, berbakti kepada orang tua..ya kapan lagi.
Pengalaman mudik pertama yang saya takutkan memang terjadi, kami terjebak macet yang panjang di jalur Nagreg yang terkenal kalau menjelang lebaran. Perjalanan Cimahi - Tasik yang biasa ditempuh tiga jam bisa mencapai tujuh jam perjalanan. Kami terjebak macet total yang panjang sepanjang jalur Nagreg. Perjalanan menjadi perjalanan yang melelahkan terlebih ada anak-anak kecil yang menjadi rewel di perjalanan karena kelamaan berdiam di dalam mobil.
Berkaca dari pengalaman, akhirnya pada saat lebaran berikutnya, kami menyiasati pergi malam hari, hingga anak-anak bisa terlelap tidur sepanjang perjalanan. Ajaib memang suasana dan waktu tempuh berubah 180 derajat dibanding dengan acara mudik pertama. Di awal perjalanan anak-anak ramai bercanda, terlihat ceria memperhatikan keramaian kendaraan dan kerlap-kerlip lampu yang bewarna warni di sepanjang perjalanan. Setelah kelelahan mereka pun tertidur dengan lelapnya.
Rutinitas mudik menjadi sebuah acara yang menyenangkan. Kini saya tak merasa heran lagi mengapa orang rela berlelah-lelah menerjang kemacetan yang panjang di acara mudik lebaran. Suasana desa yang sejuk selalu menyambut ramah di setiap kehadiran kami. Kami biasa pergi mudik ketika hari H, setelah acara sungkeman dengan orang tuaku di Kopo, lepas maghrib kami pun pergi ke Tasik Malaya tepatnya Kecamatan Leuwi Sari. Tiba hampir tengah malam, kami langsung sungkeman, dilanjutkan dengan bebenah diri dan ngobrol melepas rindu. Setelah itu kami pun melanjutkan PR kami di perjalanan yaitu tidur dengan lelapnya.
* * *
Semburat sinar matahari pagi yang indah, suasana sunyi yang nyaman, kicauan burung yang merdu serta udara pagi yang bersih menyambut pagi kami di desa. Hanya saat seperti inilah kami bisa kompak berkumpul. Suamiku empat bersaudara laki-laki semua asyik ngobrol di ruang keluarga, anak-anak asyik memancing di halaman rumah di temani Papah Aki - demikian mereka biasa memanggil kakeknya- sambil menantikan sarapan yang sedang disiapkan para emak di dapur.
Acara selepas sarapan adalah acara yang paling kami nantikan. Berjalan menyusuri pematang sawah. Memandangi luasnya sawah yang hijau menghampar bak permadani. Selanjutnya acara kami adalah bermain air !!. Ya bermain air di sebuah tempat yang biasa kami panggil Cekdam. Sebuah tempat berupa sungai dangkal penuh bebatuan kecil dan besar dialiri air jernih yang mengalir. Tempat yang nyaman udaranya sejuk menyegarkan, bukan tempat wisata tetapi cukup banyak dikunjungi orang untuk sekedar bermain air. Dikelilingi pemandangan serupa bukit menghijau dipenuhi pepohonan. Sebuah tempat hiburan yang murah tapi menyenangkan.
Puas bercanda dan bermain air, menjelang siang kami pulang, bukan ke rumah tetapi menuju saung pinggiran sawah. Menyiapkan makan siang yang lezat! Memancing ikan untuk kemudian di bakar sebagai lauk makan siang kami, sambel dadak beserta lalabnya, plus karedok leunca dan krupuk, diakhiri dengan membuat es kelapa muda setelah sebelumnya mengambil kelapa dari pohon. Nasi panas, ikan bakar, sambal lalab dan teman-temannya, disantap di saung di pinggir sawah beramai-ramai sungguh terasa sangat nikmat, jauh lebih nikmat daripada makan di restoran khas sunda yang terkenal sekalipun.
Itulah rutinitas mudik yang kini sering kami rindukan. Sebuah tradisi yang sudah membudaya yang mungkin hanya ada di Indonesia. Sebuah budaya yang lahir dari semangat untuk saling bersilaturahmi, menembus batas pertimbangan rasionalitas, efektifitas dan efesiensi. Ya mudik alias pulang kampung bagi yang tidak mengalaminya seperti itulah pemahamannya, tidak rasional, tidak efisien dan efektif. Tapi bagi yang merasakannya ternyata ada sebuah kenikmatan tersendiri yang menembus batas sang rasionalitas. Bagiku kini, tradisi mudik bukan sebuah masalah, toh hanya setahun sekali.... . Tapi memang tidak harus memaksakan diri, bila sedang tidak ada kemampuan untuk melakukannya.
Aura mudik memang gimanaaaa... gitu... Kayak kita makan sambel... pedes kepedesan tapi ngga bikin kapok, mau lagi dan lagi...
BalasHapusSaya mudiknya lebih jauh mbak, dari Jakarta ke Yogya. Tapi karena sekeluarga suka dgn petualangan, maka kami berusaha menikmati segala keadaan diperjalanan.
Wow lebih jauh, lebih banyak luka likunya dong ya
BalasHapusIya emang mba akan lebih menyenangkan kalau kita nikmati ^^