Cimahi, 13 Desember 2013
Bismillah,
Ada yang berbeda di acara arisan hari itu, sepulangnya acara itu aku jadi banyak berpikir tentang anak bungsu. Bukan tanpa alasan, saat acara arisan temanku bercerita tentang anak bungsunya yang mogok tidak mau melanjutkan sekolah. Si bungsu lebih suka ikut mamanya kemana mamanya pergi. Usianya menjelang empat tahun, lucu, tidak gemuk tapi berisi, putih, wajahnya tampan rupawan.
Aku jadi teringat pada bungsuku Maghfira Aulia Amatullah yang biasa kupanggil Maghfi, bungsuku yang 7 Desember kemarin tepat berusia enam tahun. Dua kali mengalami pengalaman yang sama, mogok sekolah, sesuatu yang tak pernah terjadi pada keempat kakak-kakaknya. Bukan hanya masalah biaya, pikiranku pun cukup tersedot dengan masalah ini. Hal sama juga terjadi pada bungsu seorang temanku yang lain, sering malas malasan pergi sekolah.
Pertama kali kami memutuskan Maghfi sekolah karena keinginan Maghfi yang setiap hari merengek ingin sekolah. Akhirnya dengan pertimbangan dekat dan sudah punya pengalaman dengan sekolah itu karena ketiga kakaknya pernah sekolah di sana, akhirnya kami memutuskan memilih sekolah tersebut. Sejak awal Maghfi selalu ingin ditemani, ditunggui terus menerus. Ketika berhasil dilepas, aku mendapat laporan Maghfi menangis. Ternyata setelah ditelusuri Maghfi ketakutan terhadap kata kata bu guru yang mengatakan yang bisa jawab boleh pulang.
Dalam benaknya terpikirkan yang tidak bisa berarti engga boleh pulang...hihi... pemikiran lugu anak anak tapi harus menjadi pelajaran pada gurunya untuk hati hati dalam memilih kata. Kali yang lain, Maghfi ribut masalah kuku, setiap mau pergi sekolah ia ribut kukunya, sudah pendek atau masih panjang. Ternyata ia pernah ditegur karena kukunya panjang.
Maghfi mogok. Tidak mau sekolah. Akhirnya kami memutuskan mencari sekolah yang lain. Aku menemukan sebuah sekolah kecil, sekolah rintisan dari sekolah besar. Pemiliknya seorang kristiani konsultan sekolah sekolah yang konon memiliki reputasi yang bagus.
Hasilnya sama saja, Maghfi selalu merasa tidak nyaman. Ingin ditemani, sekolah berkonsultasi dengan sang guru yang juga pemilik sekolah tersebut akhirnya aku harus membiarkan Maghfi menjerit jerit nangis setiap kutinggalkan sekolah. Seminggu semua itu kami lalui. Setiap hari ada saja janji yang harus kuberikan padanya, agar mau berangkat sekolah, beli sepatu lah, beli baju lah, mainan dan sebagainya.
Aku tahu Maghfi kesulitan mendobrak zona nyaman yang ia rasakan selama ini. Tidak bisa kupungkiri si bungsu memang mendapat perhatian yang lebih dari orang tuanya. Bukan karena kami pilih kasih tapi itu lah yang terjadi. Bungsuku memang memiliki waktu lebih banyak untuk mendapat perhatian daripada kakaknya. Bagaimana tidak, kalau kakak kakaknya dua atau tiga tahun sudah mendapat 'saingan' adik baru, sehingga perhatiannya terbagi. Sementara si bungsu tidak mendapat saingan lain bahkan kakaknya pun turut memberikan perhatian pula.
Kami orang tunya harus mendobrak hal itu. Harus mencari sekolah yang membuatnya merasa nyaman hingga bisa sedikit melupakan kenyamanannya di rumah. Alhamdulillah akhirnya kami menemukan sebuah 'sekolah' yang cocok untuknya.
Sebetulnya awalnya kami masih merasa sedikit ragu, karena sekolah yang dipilihnya berbeda dengan yang lainnya. Juga level sekolah yang di atas usianya. Ketika Maghfi masuk usianya masih 5 tahun 7 bulan padahal sekolahnya level SD.
Tapi memang ajaib sih, hari pertama saja Maghfi sudah bisa kulepas setelah lima belas menit menunggu. Hari kedua sempat mogok, tapi dengan sedikit ancaman akhirnya ia mau sekolah. Ketika di sekolah baru lima menit nunggu, aku sudah 'diusir' nya untuk pulang padahal sebelumnya ia wanti -wanti minta ditunggui.
Setiap hari pun Maghfi terlihat semangat untuk sekolah. Pulang sekolah selalu tertidur, satu dua jam dia terbangun, kemudian yang ditanyanya besok hari apa? Pakai seragam apa? Kemudian dia menyiapkan bajunya untuk besok, terkadang ia mencuci kaos kakinya kalau terlihat kotor.
Keraguan menyekolahkannya terlalu dini terhapus sedikit demi sedikit melihat dia enjoy. Aku mendengar kalau menyekolahkan terlalu dini nanti anak bosan dan mogok di tengah jalan. Mudah- mudahan tidak untuk Maghfi, mengingat sekolahannya yang homescholling grup yang tidak seperti sekolah biasa. Sampai sekarang Maghfi belum diajarkan membaca dan menulis karena menurut gurunya sebelum usia tujuh tahun anak fokus mengoptimalkan kemampuan pendengarannya.
Seperti kakaknya Fathiya yang bisa membaca secara mandiri, Maghfi juga terlihat seperti itu, walau belum pede untuk membaca. Kerajinannya belajar membuat ia terlihat sebetulnya sudah bisa membaca. Ia sudah bisa menulis seperti ini misalnya: Cita citaku jadi penulis, Umi aku penulis, kaka aku penulis. Jadi aku mau jadi penulis. Atau disaat lain dia menulis cerita tentang sesuatu yang ujung- ujungnya entah inspirasi darimana selalu ada cerita ayam mati... hehe...
So far so good.... mudah-mudahan semua lancar selalu ya sayang....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah mampir dan silakan tinggalkan jejak ^_^