Saya memang bukan tipe perempuan yang romantis, saya menyadari hal itu setelah menikah. Sebelumnya saya tak tahu itu, setelah bertemu suami akhirnya saya tahu kalau saya memang bukan tipe perempuan yang romantis. Dulu sebelum menikah bayangan romantisme adalah kala si dia main gitar dan kita nyanyi bersama "Kemesraan ini...janganlah cepat berlalu...." Hahaha, cukup itu saja, tidak terbayang romantisme yang macam-macam. Tapi menghadapi suami yang hangat dan ekspresif membuat saya tau makna romantisme yang sebenarnya dalam sebuah rumah tangga.
Entahlah saya juga tidak tahu mengapa saya memiliki sifat seperti ini, yang jelas ini sudah menjelma jadi sebuah karakter. Yup, karakter yang menurut Stephen Covey dalam bukunya 7 Kebiasaan Manusia yang Efektif ada tiga teori utama yang mendasarinya yaitu Determinisme Genetis, Determinisme Psikis dan Determinisme Lingkungan. Bisa jadi ketiga teori itu saling mendukung hingga mempengaruhi karakter saya, gen yang saya bawa, kemudian ada rangsangan dan respon dari pendidikan orang tua dan lingkungan. Berawal dari sikap atau perbuatan yang dilakukan terus menerus hingga menjadi kebiasaan akhirnya terbentuklah sang karakter.
Kala hujanan kata-kata I love you datang dari suami, saya tak mampu membalasnya kecuali dengan kata-kata "Me too..." Sudah cukup itu saja... hahaha.... Mungkin si abi sempat kecewa menghadapi saya yang lempeng kayak gitu. Sempat terucap "Umi tuh sayang gak sih sama abi, kok ga pernah bilang I love you..?" Saya cuman bisa bilang padanya bahwa menghabiskan seluruh hidup saya, mengorbankan semua cita serta eksistensi diri untuk membersamainya mengarungi bahtera kehidupan adalah sebuah bukti cintaku padanya.
Suamiku memang sangat romantis terlebih di awal-awal pernikahan, dulu kalau saya berulang tahun, tiba-tiba saja dia ngajak jalan-jalan...ya jalan-jalan dalam arti yang sebenarnya, tanpa kendaraan. Kemudian sambil jalan dia akan bernyanyi lagu happy birthday to you agak keras, membuat saya jadi malu karena banyak orang yang mendengar...hahaha ngocol abis emang. Sekarang ? Saya maklum kalau dia suka lupa, karena memang sudah super sibuk, ketika ditanya tanggal lahir anak-anak saja si abi pasti nelpon saya karena tidak bisa mengingatnya.
Sekarang masih banyak sikap romantismenya yang tersisa, seperti suka menggendong kalau saat-saat tertentu, misalnya sakit dan banjir. Banjir ? Yup,.. hahaha... kalau ingat sebuah peristiwa saya suka jadi malu. Ceritanya, semenjak gunung kecil di dekat rumahku dibelah dan akan dijadikan tempat wisata, daerah sekitar rumah jadi suka terkena banjir.
Sore itu sepulang dari acara pengajian hujan lebat, jalan menuju ke rumah tidak bisa dilalui kendaraan. Akhirnya kami pun turun, karena khawatir banyak lubang suami memaksaku agar mau digendong. Karena takut dan dirasa sepi, akhirnya saya setuju digendong suami. Baru saja beberapa langkah tiba-tiba terdengar sorak sorai dari belakang, ternyata banyak tetangga yang sedang menonton kami. Duh malunya, akhirnya saya minta segera turun deh.... hehe...
Berkaca dari sifat saya itu, saya jadi bisa berpesan untuk yang merasa kecewa dengan pasangan yang tidak romantis. Kalau pasangan kita sudah membuktikan dengan pengorbanan dan kesetiaan, sebaiknya kita tak perlu menuntutnya bersikap romantis. Kalau ia bisa melakukan itu tentu ia akan melakukannya toh selama ini berkorban banyak pun dia mau..iya kan ? Bukan membela diri, tapi memang susah untuk menjadi orang lain :)
“Tulisan ini diikutsertakandalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga”
Setuju sekali :)
BalasHapusHehe..iya ya susah kalau sudah jadi karakter
BalasHapusDalam kisah Teteh, saya mengalami yg sebaliknya, suami yg malah jauh dari sifat romantis nih kayanya ��
BalasHapusRomantis itu beda2 memang cara mengungkapkannya. Ga harus kayak di film :D
BalasHapussuami Mba Ida so sweet banget :) :)
BalasHapusromantis itu beraneka cara, kadang kita yang musti mendefinisika inilah romantisnya suami, yg berbeda seperti kebanyakan orang
BalasHapus