11 Sep 2016
Tersentil Taare Zameen Par
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia sebetulnya saya sudah sedikit menyinggungnya di sini. Sedikit keluh kesah seorang emak tentang pendidikan Indonesia, tidak menyalahkan satu pihak dan mengangkat pihak lain karena memang kesalahannya bersifat sistematis. Sambung menyambung menjadi satu..itulah Indonesia #eh. Sambung menyambung, merangkai sebuah sebab yang berpadu dengan akibat. Terinspirasi tulisannya Mak Inne Ria jadi ingin nulis lagi tentang pendidikan ini.
Jadi ingat film Taare Zameen Par, sebuah film favorit di keluarga saya. Pertama kali menontonnya sudah bertahun yang lalu tapi sesekali masih suka menontonnya kembali, anak-anak pun menyukainya. Kadang suka malu kalau habis nonton film itu, karena selalu saja berakhir dengan tangisan. Jadi kalau nonton itu untuk kesekian kalinya tak pernah fokus lagi karena takut nyurucud cisoca :D
Taare Zameen Par,sebuah film India yang menceritakan kisah seorang anak yang bernama Ihsan. Ihsan ini memiliki seorang kakak yang penuh dengan prestasi sementara dia sendiri selalu mendapat nilai yang kecil. Ayahnya yang sibuk merasa kecewa padanya. Hanya ibunya yang perhatian dan menerima dia apa adanya, sayangnya ibunya pun tak tahu harus seperti apa menyikapi 'kebodohan' anaknya.
Singkat cerita karena berbagai alasan akhirnya Ihsan dipindahkan sekolahnya ke sebuah sekolah yang memiliki asrama sehingga ia tinggal jauh dari kedua orang tuanya. Di sekolah inilah ia bertemu dengan seorang guru yang paham tentang dirinya dan bagaimana menangani dirinya. Ternyata sang guru memiliki masa kecil yang mirip dengan Ihsan.
Berkat penanganan yang tepat dari sang guru ini, akhirnya Ihsan si anak minder, pemalu dan menarik diri dari lingkungan bisa berubah kembali ceria, bahkan ia berhasil menjadi student of the year yang mana foto close up wajahnya dipajang di cover buku tahunan sekolah. Berkat penanganan yang tepat akhirnya Ihsan berhasil menemukan siapa dirinya. Ayah dan Ibunya pun menjadi bangga kepadanya.
Ihsan tidaklah bodoh, ia hanya kesulitan membaca, huruf-huruf seolah menari-nari dihadapannya, Ihsan mengalami disleksia, untung saja sang guru berhasil menemukan cara yang tepat mengajarkannya membaca.
Jadi memang tidak ada anak yang bodoh yang ada adalah salah cara menyampaikan. Setiap anak memiliki tipe belajar yang berbeda, itu yang harus diketahui oleh sang pengajarnya, apalagi orang tuanya.
Belajar dari film itu terkadang sekolah dan orang tua malah merusak mental anak, dengan mencap mereka bodoh karena ketidakmampuan mereka menerima pelajaran dengan baik. Padahal sebenarnya tidak ada yang bodoh kan ? Saat para pendidiknya berhasil menyesuaikan dengan tipe cara mereka belajar ternyata mereka begitu mudah menerima pelajaran.
Satu lagi, setiap orang pasti mempunyai kelebihan dari satu sisi, nah itu yang harus ditonjolkan digali terus dan dimaksimalkan. Jadi kelebihan yang dimiliki ketika terus diasah maka hasilnya akan maksimal. Daripada kita terus mengasah sesuatu yang menjadi kelemahan mereka tentu hasilnya tidak akan maksimal malah akhirnya kelebihan yang mereka miliki tidak teroptimalisasikan.
Nah yang disayangkan dari sistem pendidikan kita, semua anak harus belajar semua pelajaran, disamaratakan, diseragamkan. Padahal ada kan yang tidak suka pelajaran PKN atau sejarah atau pelajaran lainnya, akhirnya hal ini membuat anak tidak terlalu menikmati proses belajar mereka bahkan menjadi beban. Belajar menjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan bagi mereka.
Ada beberapa orang tua yang akhirnya mengambil kebijakan dengan meng homeschooling kan anak-anaknya. Sekarang sudah mulai banyak orang tua yang berani meng HS kan anaknya, di awal tahun 90 an hal itu masih jarang dan aneh, tapi saya kenal seorang daiyah bernama Berryl C Syamwil yang saat itu sudah berani meng homeschooling kan kedua anaknya.
Sebetulnya asyik juga bisa meng homeschooling kan anak-anak dan saya angkat topi buat orang tua yang bisa seperti itu. Melihat kondisi pendidikan seperti ini sih memang itu yang ideal ya. Ibu kan madrostul ula, guru yang pertama dan utama untuk anak-anaknya. Tapi terus terang saya belum mampu melakukan itu, karena memang butuh fokus dari kedua belah pihak orang tua baik ayah dan ibunya. Minimal ada saling mendukung diantara keduanya, kodisinya pun harus kondusif untuk bisa melakukan ini.
Semoga saja sistem pendidikan kita akan bertambah baik seiring waktu berjalan. Hanya bisa berdo'a saja :) Semoga saja Taare Zameen Par ditonton para eksekutor dan membuka kan mata hati mereka :D
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Template by
Blogger Perempuan
Kalau saya sendiri Mak untuk pelajaran PKN dan Sejarah Indonesia memang anak2 lebih baik mempelajarinya. Karena PKN kn lingkupnya luas Mak. Beda sama mtk, kimia dan fisika yg lebih banyak tak di sukai anak2.
BalasHapusUntuk homescholling sendiri, kalau fullday school diterapkan saya lebih baik anak HS saja deh Mak.
Keren Mak kalau siap HS, saya mah belum siap :)
HapusHomeschooling memang asyik, teh. Karena kita bebas menentukan arah pembelajaran sesuai dengan minat si anak. Tapi di sisi lain, hal yang paling berat dari HS adalah ketika kita harus menjadi guru sekaligus orang tua bagi si anak. Apalagi kalau keluarga besar belum satu visi. hihi #kalakahcurcol.
BalasHapusSemangat lah, semangat nya.. masih punya waktu 2 tahunan ini sebelum si bocil masuk usia SD.
Hatur nuhun tanggapannya, teh.. ^_^
Iyaaa harus ada dukungan dari keluarga besar pula :)
Hapusyes,kadang ortu terlau membebani anak terlalu berat dan gak melihat bagiamana anak punya potensi
BalasHapusyup betul sekali :(
HapusMba ntar Oktober ada film yang dibintangi Atiqah Hasiholan ceritanya mirip film ini deh kayaknya. Aku juga blm prnh nton penasaran jadinya hehehe..
BalasHapuswah jadi pengen nonton, makasih infonya :)
HapusAku suka nontonnya Mbk. Tapi belum berani ngajak anak nonton karena ada adegan berkelahi. Aku dan suami sering diskusi film ini.
BalasHapusAnak2 berkelahi ya... asal kasih pengertian aja, dalam dunia nyata juga suatu saat anak akan melihat realita ini... Jadi bagus juga memberitahukan sebelumnya :)
HapusItu siih kalau saya, alhamdulillah sih sejauh ini anak2 saya ga aada yg suka berkelahi satu kali pun :) Malah dua anak perempuan yg sudah lulus SD dinobatkan jadi teman terbaik saat kelulusan oleh teman2nya.
Ibuku suka nonton film ini mbak,kata ibuku filmnya bagus, kalo aku belum nonton :)
BalasHapusAku malah br tau soal film ini dr postinganmu mba. Jd pingin nonton jugaak
BalasHapusIni juga salah satu film favorit saya. Saya jadi tau kalau di Pulau Solomon untuk membuka lahan, orang2 hanya perlu menyumpahserapahi hutan dan bbrp hari kemudian pohon2 akan layu dan mati. Ngeri kalau membayangkan suara sumpah serapah yang mungkin dialamatkan ke anak2, akan jadi apa anak itu nanti?
BalasHapusOya, kalau ngga salah bulan depan akan ada film tentang dyslexia jg yg diperankan Atiqah Hasiholan. Ngga sabar pengen nonton. :)
Dyslexia? Baru aja suami rekomendasikan film ini. Ceritanya menarik nih
BalasHapusFilm nya bagus, mbak.
BalasHapusBener sih sekolah sekarang kadang bikin pusin. Dan aku ngalami juga pengen HS buat anakku yg bungsu. Kendalanya waktu itu masih kerja, dan alhamdulillah waktu SMP dpt sekolah yg bisa mendukung kreativitas anak. Bukan mengagungkan nilai akademik.saja.
Ini juga film yang suka kutonton berkali-kali, Mba.
BalasHapusBeberapa film lain tentang teaching yang memotivasi juga saya simpen dan puter ulang. Memang salut banget untuk gurunya Ihsan yang bisa menggali potensi dan melihat celah berkembang anak.
Untuk sistem pendidikan sekolah negeri rasanya agak susah dicapai karena kelasnya terlalu besar. Bisa sampai 30 lebih jumlah siswa dalam satu kelas. Alhasil, kontrol dan perhatian ke masing-masing anak tidak bisa diterapkan maksimal. *curhat bu guru